Rabu, 23 Mei 2012

PERANAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA NARKOBA

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal Pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat kesehatannya.
Peningkatan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika dan obat-obatan jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat-obatan untuk kesehatan, juga digunakan untuk percobaan dan penelitian yang diselenggarakan pemerintah dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan dan mendapat ijin dari Menteri Kesehatan.
Pada era globalisasi ini masyarakat lambat laun berkembang, dimana perkembangan itu selalu diikuti proses penyesuaian diri yang kadang-kadang proses tersebut terjadi secara tidak seimbang. Dengan kata lain, pelanggaran terhadap norma-norma tersebut semakin sering terjadi dan kejahatan semakin bertambah, baik jenis maupun bentuk polanya semakin kompleks. Perkembangan masyarakat itu disebabkan karena ilmu pengetahuan dan pola pikir masyarakat yang semakin maju.
Dan masyarakat berusaha mengadakan pembaharuan-pembaharuan di segala bidang. Namun kemajuan teknologi tidak selalu berdampak positif, bahkan ada kalanya berdampak negatif. Maksudnya adalah dengan kemajuan teknologi juga ada peningkatan masalah kejahatan dengan menggunakan modus operandi yang canggih. Hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mampu menciptakan penanggulangannya, khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang.
Akhir-akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat penegak hukum di harapkan mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa.
Diantara aparat penegak hukum yang juga mempunyai peran penting terhadap adanya kasus tindak pidana narkoba ialah " Penyidik ", dalam hal ini penyidik POLRI, dimana penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian terhadap kasus pelanggaran tindak pidana narkoba.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika  dan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika  didalamnya diatur sanksi hukumnya, serta hal-hal yang diperbolehkan, dengan dikeluarkanya Undang-Undang tersebut, maka penyidik diharapkan mampu membantu proses penyelesaian perkara terhadap seseorang atau lebih yang telah melakukan tindak pidana narkoba dewasa ini.
Efektifitas berlakunya Undang-Undang ini sangatlah tergantung pada seluruh jajaran penegak umum, dalam hal ini seluruh intansi yang terkait langsung, yakni penyidik Polri serta para penegak hukum yang lainnya. Disisi lain hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang No. 5 tahun 1997 dan Undang-Undang No. 22 tahun 1997. Maka peran penyidik bersama masyarakat sangatlah penting dalam membantu proses penyelesaian terhadap kasus tindak pidana Narkoba yang semakin marak dewasa ini.









B.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut di atas , maka penulis ingin mengupas beberapa Permasalahan yang dijadikan obyek di dalam penulisan Proposal ini adalah :
1.    Sampai sejauh mana peranan penyidik dalam menjalankan tugas untuk menangani tindak pidana Narkoba?
2.    Bagaimana langkah-langkah penyidik dalam mengungkap masalah terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana Narkoba?
3.    Hambatan-hambatan apa yang ditemui para penyidik dalam penyelesaian terhadap pelaku tindak pidana narkoba ?












C.    TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan atau penulisan proposal skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk mengetahui peranan penyidik dalam menjalankan tugas untuk menangani tindak pidana Narkoba?
2.    Untuk mengetahui langkah-langkah penyidik dalam mengungkap masalah terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana Narkoba?
3.    Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang ditemui para penyidik dalam penyelesaian terhadap pelaku tindak pidana narkoba?













D.    KEGUNAAN PENELITIAN
Adapun manfaat penulisan dari proposal skripsi ini adalah :
a. Teoritis
Penulisan proposal ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta perkembangan hukum pidana khususnya mengenai PERANAN PENYIDIK DALAM MEMBANTU MENYELESAIKN TINDAK PIDANA NARKOBA.
b. Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi aparat penegak hukum mengenai PENYIDIK DALAM MEMBANTU MENYELESAIKN TINDAK PIDANA NARKOBA.











E.    KERANGKA TEORI
Untuk mengetahui tentang peranan penyidik POLRI dalam penyelesaian penyalahgunaan narkoba,didasarkan kepada teori yang saling berkaitan, artinya teori yang belakangan merupakan reaksi atau perbaikan dari teori sebelumnya.
Peranan penegak hukum dalam arti fungsi dan maknanya merupakan bagian dari konsep struktur hukum. Ada 4 (empat) fungsi sistem hukum menurut friedman, yaitu:
1.    Fungsi kontrol sosial (social control). Menurut Donald Black bahwa semua hukum adalah berfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah.
2.    Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa (dispute stlement) dan konflik (conflict). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil (micro). Sebaliknya pertentangan-pertentangan yang bersifat makro dinamakan konflik.
3.    Fungsi retribusi atau fungsi rekayasa sosial (retribution function and social engineering function). Fungsi ini mengarahkan pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang ditentukan oleh pemerintah.
4.    Fungsi pemeliharaan sosial (social maintenance function). Fungsi ini berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan sesuai dengan aturan mainnya (rule of the game).
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame-work) yang ditetapkan oleh suatu Undang-undang atau hukum.
Criminal justice system di Indonesia dapat dilihat dari berbagai mekanisme dan sistem sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana. Kelembagaan yang termasuk dalam sistem tersebut adalah: Pertama, Penyelidik dan penyidik (Kepolisian RI), sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, selaku Pengemban Fungsi Kepolisian, dibantu oleh Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Kedua, Penuntut adalah Kejaksaan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, diberikan wewenang tambahan melakukan penyidikan atas tindak pidana khusus seperti tindak pidana narkotika. Ketiga, Pengadilan yang menurut Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Hakim, menjadi lembaga yudikatif, terpisah dari lembaga eksekutif, dibantu oleh Panitera dan Staf, yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Keempat, Penahan (Lembaga Pemasyarakatan), mengelola Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka pemidanaan dan pengelola Rumah Tahanan (Rutan) dan Rumah Penitipan Barang Sitaan (Rupbasan).
Dalam perkembangannya, bidang hukum menunjukkan perubahan yang paradigmatic. Kelemahan hukum alam adalah karena ide atau konsep tentang apa yang disebut hukum bersifat abstrak. Hal ini akan menimbulkan perubahan orientasi berpikir dengan tidak lagi menekankan pada nilai-nilai yang ideal dan abstrak, melainkan lebih mempertimbangkan persoalan yang nyata dalam pergaulan masyarakat. Latar belakang ini yang pada akhirnya melahirkan aliran hukum positif.
Hukum positif mengajarkan bahwa hukum positiflah yang mengatur dan berlaku dibangun di atas norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengidentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan pada norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengidentifikasikan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan atas aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa negara. John Austin menggambarkan hukum sebagai suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan untuk mengalahkannya. Oleh karena itu,hukum harus dipisahkan dari keadilan dan sebagai gantinya kebenaran hukum harus disandarkan pada ide-ide baik dan buruk yang didasarkan pada ketetapan kekuasaan yang tertinggi.
Positivisme adalah aliran yang mulai menemui bentuknya dengan jelas melalui karya Agust Comte (1798-1857) dengan judul Cuorse de Philoshopie positive. Positifisme hanya mengakui fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi dengan hubungan objektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atau asal-usul tertinggi.
Demikian juga halnya untuk dapat menjawab permasalahan dalam proposal Penelitian kaedah positif terimplikasi kepada bahwa dalam negara manapun semuanya mengakui adanya suatu asaspersamaan di depan hukum atau Equaliti before the law, seperti asas hukum rule of law yang dipakai dalam negara Anglo saxon bahwa rule of law melingkupi:
1.    Supremacy of law
2.    Equality before the law
3.    Constitrution based on human right
Dalam teori hukum pidana dikenal dalil Ultimum Remedium atau disebut sarana terakhir dalam rangka menentukan perbuatan apa saja yang akan dikriminalisasi (dijadikan delik atau perbuatan yang apabila dilakukan akan berhadapan dengan pemidanaan). Sedangkan langkah kriminalisasi sendiri termasuk dalam teori kebijakan kriminal (criminal policy), yang salah satu pendapat pakar Peter G Hoefnagels mengartikan sebagai criminal policy is the rational organization of the control of crime by society yang diartikan sebagai upaya rasional dari suatu Negara untuk menanggulangi kejahatan. Dalam kebijakan kriminal tersebut selanjutnya diuraikan bahwa Criminal policy sebagai ascience of responses, science of crime prevention, policy of designating human behavior as a crime dan rationa total of the responses to crime. Selain terdapat persyaratan bahwa menentukan perbuatan mana yang akan dikriminalisasi yaitu bahwa perbuatan itu tercela, merugikan dan mendapat pengakuan secara kemasyarakatan bahwa ada kesepakatan untuk mengkriminalisasi dan mempertimbangkan cost and beneft principle,tetapi juga harus dipikirkan jangan sampai terjadi over criminalization.
Untuk menghindari over criminalization maka diingatkan beberapa rambu-rambu antara lain bahwa:
1.     Fungsi Hukum pidana adalah memerangi kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.
2.    Ilmu Hukum pidana dan perundang-undangan hukum pidana harus memperhatikan hasil-hasil penelitian anthropologis dan sosiologis.
3.    Pidana merupakan alat yang paling ampuh yang dimiliki Negara untuk memerangi kejahatan namun pidana bukan merupkan satu-satunya alat, sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan selalu dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan sosial lainnya, khususnya dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan preventif. (pemikiran dari Von Liszt, Priens, Van Hammel pendiri Internationale Association for Criminology).
Berkaitan dengan pemikiran Hoenagles maka ditekankan kembali penting mempertimbangkan berbagai faktor untuk melakukan kriminalisasi agar tetap menjaga dalil Ultimum remedium dan tidak terjadi over criminalization antara lain:
a.    Jangan menggunakan Hukum Pidana dengan emosional.
b.    Jangan menggunakan Hukum Pidana untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya.
c.    Jangan menggunakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan dirumuskan.
d.    Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat.
e.    Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya tidak efektif.
f.    Hukum pidana dalam hal-hal tertentu harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan.
g.    Hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka perlu diingat adanya dalil Ultimum Remedium sebagai sarana terakhir yaitu berkaitan dengan masalah bagaimana menentukan dapat dipidana atau tidak dapat dipidana suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau dengan kelalaian. Dalam suatu pidato menteri moderman dinyatakan bahwa untuk menentukan perbuatan tersebut di atas harus diingat adanya 2 asas pokok.
Asas pokok itu yang pertama ialah, orang yang melanggar hukum (ini sebagai syarat mutlak dari teori condition sine qua non). Kedua , bahwa perbuatan itu melanggar hukum dan menurut pengalaman tidak dapat dicegah dengan sarana apapun (tentu dengan memperhatikan keadaan masyarakat tertentu). Ancaman pidana harus tetapmerupakan Ultimum remedium. Hal ini tidak berarti bahwa ancaman pidana ditiadakan namun harus selalu mempertimbangkan untung ruginya ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi obat yang diberikan lebih jahat dari pada penyakit. Artinya bahwa untuk mencapai tujuan pemidanaan maka Negara dengan sengaja memberikan pidana dan menambah penderitaan pada pelakunya.Namun dalam hal ini juga ditambahkan bahwa dalam hukum pidana yang lebih modern, selalu diusahakan agar sedapat mungkin mengurangi penderitaan yang ditambahkan dengan sengaja itu.














F.    METODE PENELITIAN
Sebagaimana lazimnya dalam penulisan Proposal ini diperlukan data-data dimana data-data tersebut diperoleh dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut:
1.    Sumber Data
a.    Studi Kepustakaan
Yaitu dilakukan dengan cara mempelajari, mengumpulkan pendapat para pakar hukum yang dapat dibaca dari literatur, yurisprudensi, majalah-majalah dan koran-koran yang kebetulan memuat tentang masalah yang diteliti.
b.    Studi Lapangan
Yaitu dilakukan dengan cara melakukan penelitian langsung pada obyek penelitian.
2.    Pengumpulan data,
Yaitu pengumpulan data dari lapangan dengan menggunakan beberapa teknik diantaranya adalah :
a.    Teknik wawancara
Adalah teknik pengumpulan data dengan cara wawancara langsung dengan pihak yang erat hubungannya dengan penelitian agar data yang diperoleh lebih jelas dan akurat.
3.    Analisa Data
Data-data yang terkumpul akan disusun secara deskriptif kualilatif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan cara memaparkan data-data yang diperoleh dari lapangan baik data primer maupun data sekunder. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan suatu kebenaran yaitu dengan menguraikan data yang sudah terkumpul sehingga dengan demikian dapat dilakukan pemecahan masalah.














DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika
Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
Siswanto sunarso, Penegakan Hukum Pisikotropika dalam Kebijkan Sosiologi Hukum, hal 69-70
J. Austin dalam M. Muslehuddin, filsafat hukum islam dan pemikiran orientalis, hal 28
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar hukum politik, hal 25
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, hal 31-32
Muladi Kapita, Selecta Hukum Pidana,hal 127-129
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Hukum Pidana. Hal 149

Tidak ada komentar:

Posting Komentar